Cari Blog Ini

Minggu, 09 Mei 2010

Dimulainya Persahabatan

Cuaca minggu pagi agak mendung. Dengan malas, aku melangkah ke warung. Aku akan membeli makanan untuk sarapan pagi itu.
Ketika berbelok ke Jalan Flamboyan, aku melihat kesibukan di rumah nomor 2 dari ujung kanan. Ternyata, ada penghuni baru yang akan menempati rumah itu. Aku memperhatikan orang-orang yang sibuk mengangkut barang. Di antara mereka terlihat seorang gadis manis yang juga sedang terlihat sibuk. Aku sepertinya mengenali gadis itu. Gadis itu adalah Ina.
Aku memanggil gadis itu. Mendengar seseorang memanggil namanya, gadis itu terkejut.
“Arifin! Baru saja aku akan mencari rumahmu. Ini ada titipan dari kakekmu,”kata Ina sambil memberikan sebuah kardus.
“Kamu akan tinggal di rumah ini? Mengapa kamu tidak cerita kepadaku saat aku mengunjungi rumah kakek minggu lalu? Tanyaku kepadanya.
“Maaf aku sengaja merahasiakannya. Aku ingin membuat kejutan untukmu. Nah, sekarang, aku menjadi tetanggamu. Besok, aku menjadi teman sekelasmu.
Sejak itu, persahabatan antara aku dan Ina terjalin. Setiap sore, kami belajar bersama. Banyak pelajaran yang belum dimengerti oleh Ina. Dengan senang hati aku mengajari Ina.
Aku pun sering menemani Ina ke mana-mana. Ina belum mengenal jalan-jalan di kota ini. Jadi, aku pun siap menolong Ina kapan saja.
Suatu hari, Ina lupa mengerjakan tugas. Ia ingin mencontek tugasku. Aku pun kaget mendengar perkataan Ina. Rasanya ingin marah. Akan tetapi, aku menahannya. Aku pun meminjamkan tugasku kepadanya .
Di saat lain , Ina lupa membawa kertas ujian. Padahal Ibu Guru sudah mengingatkannya. Ina pun meminta kertas ujian kepadaku.
Aku kesal sekali. Ternyata, bantuanku kepada Ina selama ini telah membuat Ina bergantung kepadaku. Aku memang senang membantu. Akan tetapi, jika kemudian menjadi tempat bergantung, tentu saja aku tidak suka. Aku pun bertekad untuk berterus terang kepada Ina.
“Aku tidak suka kau selalu bergantung kepadaku. Sampai-sampai tugas pun kau mencontek pekerjaanku. Itu akan merugikan dirimu sendiri, ”kataku kepada Ina.
Ina kaget mendengar perkataanku. Ucapanku sepertinya menyakitkan hatinya. Akan tetapi, Ina menyadari bahwa ucapanku ada benarnya juga. Ina pun malu sekali. ”Ina pun meminta maaf kepadaku. Ia berjanji untuk tidak selalu mengharapkan pertolongan dariku dan ia akan berusaha untuk belajar mandiri yang tidak bergantuk pada orang lain.
Aku pun tersenyum. Ia menepuk pundak Ina. Betapa leganya perasaanku. Ternyata , berterus terang di saat yang tepat itu lebih baik daripada menyimpan masalah dan dapat menyadarkan kepada seseorang bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar