Cari Blog Ini

Rabu, 09 November 2011

etika profesi akuntansi

Etika Profesi Akuntansi
Pendahuluan
Sebelum membahas tentang Kasus-kasus yang berhubungan dengan Etika Profesi Akuntansi, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu pengertian Etika Profesi Akuntansi, seperti tertera pada penjelasan berikut ini.
Etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” , yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari hal-hal yang bersifat buruk.
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan ara yang benar.
Pengertian dan Definisi Etika Profesi Akuntansi
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi :
1. Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2. Profesionalisme. Diperluikan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
3. Kualitas jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tinggi.
4. Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesioanal yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Berdasarkan uraian tentang pengertian Etika Profesi Akuntansi diatas, maka untuk memperjelas maksud dan tujuan Diadakannya Etika Profesi Akuntansi saya paparkan beberapa Kasus-kasus yang berhubungan dengan Profesi Akuntansi, agar Penerapan Etika Profesi bisa lebih digalakkan kembali.


Contoh kasus yang melanggar kode etik akuntansi:

Nazaruddin Juga dijerat Pasal Pencucian Uang
Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan, mantan anggota DPR RI dan bendahara umum partai Demokrat M Nazarudin akan dijerat pula dengan pasal pencucian uang, selain dikenai pasal korupsi dan suap.
Hal itu, menurut Busyro, didasarkan pada pada laporan hasil Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi keuangan. Dalam laporan yang terdiri dari 18 berkas itu, kata dia,terungkap beberapa kasus lain berkaitan. “dari sejumlah kasus itu, yang bukti-buktinya atau fakta-faktanya nanti memenuhi criteria untuk diterapkan UU pencucian uang, insya allah akan kami terapkan,” katanya, dijakarta, kemarin.
Sumber: Koran Media Indonesia. Rabu, 9 November 2011
Analisis: seperti yang telah kita ketahui kasus nazarudin telah terbukti sebagai seorang terpidana kasus korupsi. Dari kasus diatas saudara nazarudin telah melanggar kode etik akuntansi prinsip yang pertama dan kedua yaitu, ia telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat, menyalahgunakan kepercayaan public, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme

Selasa, 08 November 2011

pelanggaran kode etik akuntansi

Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi?
Hasil Peer Review BPKP atas Kertas Kerja Auditor Bank-Bank Bermasalah

Diskusi KAP Bermasalah Majalah Media Akuntansi-IAI, Jakarta, 2 Mei 2001

Agam Fatchurrochman
Ketua Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch

Salah satu penyebab krisis ekonomi yang sampai sekarang belum selesai adalah ambruknya sektor perbankan. Robohnya sektor perbankan ini sebenarnya dapat diduga akan terjadi jika melihat begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh sektor perbankan didiamkan begitu saja oleh BI sebagai pengawas perbankan. Berbagai penyimpangan, seperti pelanggaran BMPK, tidak terpenuhinya indikator kesehatan, banyaknya kredit fiktif, kolusi dalam pemberian kredit, laporan keuangan yang direkayasa, dan berujung pada mengucurnya BLBI ratusan triliun untuk tujuan yang tidak jelas, hampir semuanya berasal dari kesengajaan pengelola bank dan kelemahan sistem pengawasan perbankan BI.
Akibat berbagai moral hazard ini, sektor perbankan menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian nasional, dalam bentuk timbulnya biaya semacam berupa BLBI dan biaya penyehatan perbankan yang sangat tinggi.

Tetapi apakah semuanya merupakan kesalahan dari pemilik dan manajemen bank serta BI? Apakah tidak ada aktor lain yang sebenarnya mampu untuk melihat berbagai kelemahan sistem perbankan nasional dan rekayasa keuangan yang dilakukan pengelola bank? Pertanyaan semacam ini sebenarnya akan terjawab jika kita melihat hasil peer review BPKP atas kertas kerja auditor yang mengaudit 37 bank, diantaranya beberapa bank mendapatkan kucuran BLBI.

Sektor perbankan adalah pengerah dana masyarakat. Tidak hanya melalui tabungan, jika bank telah masuk bursa, bank bahkan menarik dana masyarakat dalam bentuk penanaman modal. Masyarakat akan menaruh dananya dalam berbagai bentuk jika bank menunjukkan kondisi keuangan yang sehat. Jika manajemen bank berhasil mengelabui masyarakat dengan menyajikan laporan keuangan yang seolah-olah mengambarkan keberhasilan perusahaan secara keuangan, maka dana masyarakat akan mengalir ke bank tersebut. Tetapi karena secara fundamental tidak sehat, maka bank tersebut justru menjadi beban bagi perekonomian.

Informasi keuangan memang disajikan oleh manajemen bank, tanggung jawabnya juga berada pada pundak pengelola bank. Informasi keuangan tersebut dapat mengandung kekeliruan (error), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Tetapi yang sering terjadi justru terdapat ketidakberesan (irregularities), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang disengaja, atau berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang dicoba ditutupi dengan rekayasa akuntansi.

Karena manajemen dalam menyajikan laporan keuangan mempunyai tujuan tertentu, maka diperlukan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen. Jasa profesional inilah yang dilakukan oleh auditor independen. Tetapi bagaimana kalau jasa yang diberikan auditor itu tidak profesional dan tidak secara konsisten menerapkan kualitas dalam perencanaan dan pekerjaan lapangan dan pelaporan? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, tidak sepenuhnya mematuhi etika profesionalitasnya, yang pada ujungnya menyebabkan tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.

Etika Profesional Auditor dan Standar Profesional Akuntan Publik

Etika profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena masyarakat merasa terjamin akan memperoleh jasa yang dapat diandalkan. Begitu juga terhadap profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit.

Bagi profesi akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti karyawan, partner, dan staf.

Sedangkan Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Sepuluh standar itu terbagi atas Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Standar Umum mengatur syarat-syarat diri auditor, Standar Pekerjaan Lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan Standar Pelaporan memberikan panduan auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai laporan keuangan. Standar Auditing dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.

Standar Auditing
a. Standar Umum
1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c. Standar Pelaporan
1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
4. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.

Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat IAI. Badan Pengawas Profesi --yang sekarang bernama Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP) dan berfungsi sebagai lembaga peradilan tingkat I ini-- beranggotakan kalangan akuntan publik di Kompartemen Akuntan Publik yang diusulkan dan diangkat oleh Rapat Anggota Kompartemen. Sedang Dewan Pertimbangan Profesi yang sekarang bernama Majelis Kehormatan beranggotakan tokoh-tokoh profesi yang dihormati dari berbagai kalangan akuntan, pejabat Pemerintah, kalangan pemakai jasa akuntan, dan tokoh masyarakat. Majelis ini diangkat oleh Kongres IAI dan bertanggung jawab kepada kongres tersebut.

Fungsi dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik. Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik akuntan kepada Komite Kode Etik.

Tetapi jika terdapat akuntan publik yang mengajukan banding atas keputusan sanksi yang dijatuhkan, maka kasus ini kemudian ditangani oleh lembaga banding, yaitu Majelis Kehormatan IAI. Majelis ini berwewenang untuk menangani semua kasus pelanggaran kode etik atau SPAP pada tingkat banding dan menetapkan sanksi yang bersifat final.

Majelis ini dapat mengenakan sanksi berupa pemberhentian keanggotaan sementara atau tetap. Tetapi Majelis ini bertindak atas dasar pengaduan tertulis mengenai pelanggaran kode etik oleh anggota IAI atau atas permintaan pengurus IAI.

Selin itu dalam rangka pengendalian mutu kantor akuntan publik, IAI menyusun Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik, berupa pernyataan Standar Pengendalian Mutu. Dalam sistem tersebut, pekerjaan seorang akuntan publik dapat direview oleh akuntan publik lain atau institusi yang berwenang, yaitu BPKP sejak tahun 1983. Hal ini disebut juga peer review. Dalam review ini setiap anggota IAI tidak boleh menghalangi atau menghindari pelaksanaan review dari anggota lainnya yang ditunjuk IAI atau instansi yang ditunjuk untuk itu, yaitu BPKP.

Peer Review BPKP Atas Kertas Kerja Auditor

Dalam konteks krisis, ketika banyak bank-bank yang ambruk padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat, masyarakat mencurigai kalau banyak auditor sebenarnya mempunyai kontribusi terhadap ambruknya dunia perbankan. Kecurigaaan masyarakat ini sebenarnya ditangkap oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan ditindaklanjuti dengan keinginan pada bulan April 1999 untuk membentuk tim di bidang penegakan disiplin. Tim ini akan meneliti kertas kerja kantor akuntan publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan 38 bank beku usaha (BBKU). Hal ini juga ditujukan agar auditor lebih menjaga kualitas pekerjaan, menjalankan kode etik dan SPAP, yang nantinya berujung agar para bankir tidak lagi melakukan rekayasa laporan keuangan.

Tetapi sayangnya niat tersebut tidak terlaksana, karena IAI sampai beberapa saat tidak mewujudkan niatnya tersebut. Karena itu Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan pada Oktober 1999 meminta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk menggantikan niat IAI dan melakukan peer review terhadap kertas kerja auditor bank bermasalah untuk tahun buku 1995, 1996, 1997. Hal ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Keuangan No.472/KMK.01.017/1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang Pembentukan Tim Evaluasi terhadap Auditor yang Mengaudit Bank-Bank Bermasalah.

Tujuan dari peer review ini adalah untuk melaksanakan tugas Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Departemen Keuangan sebagai pembina profesi akuntan dan juga untuk menjawab kecurigan masyarakat berkaitan dengan kualitas pekerjaan auditor bank-bank tersebut.

Peer review ini dilakukan dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor ketika mengaudit bank-bank tersebut untuk melihat bagaimana pelaksanaan SPAP dipatuhi. Menurut Standar Auditing Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 03, kertas kerja adalah catatan-catatan yang diselenggarakan oleh auditor mengenai prosedur audit yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya, informasi yang diperolehnya, dan kesimpulan yang dibuatnya sehubungan dengan auditnya. Kertas Kerja ini dapat dikelompokkan ke dalam 5 tipe, yaitu (1) Program Audit, (2) Working Trial Balance, (3) Ringkasan Jurnal Adjustment, (4) Lead Schedule atau Top Schedule, dan (5) Supporting Schedule.

Jadi peer review ini dilakukan BPKP dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor dalam mengaudit bank-bank tersebut, bukan melakukan audit lagi terhadap bank-bank tersebut. Dengan memeriksa kertas kerja, maka BPKP dapat melihat kualitas pekerjaan auditor, karena tujuan pembuatan kertas kerja ini adalah untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan auditan, menguatkan kesimpulan-kesimpulan auditor dan kompetensi auditnya, mengkoordinasi dan mengorganisasi semua tahap audit, serta memberikan pedoman dalam audit berikutnya.

Kemudian Standar Auditing Sksi 339 Kertas Kerja paragraf 05 menyatakan bahwa kertas kerja harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar auditing yang dapat diterapkan dan dilaksanakan oleh auditor. Kertas kerja ini biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan:

a. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan pertama, yaitu pemeriksaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik.
b. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan kedua, yaitu pemahaman memadai atas struktur pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan.
c. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan ketiga, yaitu bukti audit telah diperoleh, prosedur audit telah diterapkan, dan pengujian telah dilaksanakan, yang memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan

Tetapi sayangnya hasil peer review BPKP atas kertas kerja auditor bank-bank bermasalah ternyata menunjukkan bahwa banyak auditor tersebut yang melanggar SPAP. Peer review yang dilakukan atas kertas kerja 10 KAP (ada 17 auditor yang menjabat sebagai partner) yang mengaudit 37 bank bermasalah memperlihatkan bahwa:

1. Hampir semua KAP tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account.
2. Pada umumnya dokumentasi audit kurang memadai (70%).
3. Terdapat auditor yang tidak memahami peraturan perbankan tetapi menerima penugasan audit terhadap bank (1 auditor).
4. Pengungkapan yang tidak memadai di dalam laporan audit (80%).
5. Masih terdapat auditor yang tidak mengetahui laporan dan opini audit yang sesuai dengan standar.

REKAPITULASI HASIL PEER REVIEW BPKP TERHADAP KERTAS KERJA AUDITOR 37 BANK BERMASALAH
Ketentuan Standar Uraian Pelanggaran Jumlah KAP
Standar Pekerjaan Lapangan Tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account 9
Dokumentasi audit tidak memadai 7
Tidak melakukan kontrol hubungan 5
Tidak melakukan uji ketaatan terhadap peraturan 4
Tidak membuat simpulan audit 4
Tidak melakukan perencanaan sampel audit 3
Tidak melakukan pengujian fisik 2
Tidak melakukan pengkajian terhadap resiko audit dan materialitas 2
Tidak memahami dan mempelajari peraturan perbankan 1
Audit program yang tidak sesuai dengan karakteristik bisnis klien 1
Standar Pelaporan Pengungkapan yang tidak memadai 8
Opini audit yang tidak sesuai dengan standar 1
Kesalahan pengklasifikasian suatu transaksi 1
Laporan audit yang tidak sesuai dengan standar 1

Jadi dari keseluruhan kertas kerja auditor yang direview, hanya satu KAP yang menurut BPKP tidak terdapat temuan penyimpangan dari Standar Auditing.

Apakah akibat ketika audit melanggar Standar Auditing seperti yang terdapat dalam peer review BPKP? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.

Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi?

Hasil peer review tersebut sebenarnya secara gamblang menggambarkan bahwa banyak auditor yang tidak menjaga mutu pekerjaan auditnya. Hasil peer review ini oleh BPKP telah disampaikan ke Departemen Keuangan tahun 2000. Namun sampai saat ini belum ada tindakan apapun dari Departemen Keuangan. Sedangkan IAI sebagai organisasi profesi akuntan tidak melakukan tindakan apapun atas hasil peer review ini.

sumber: http://agamfat.multiply.com/reviews/item/8

Rabu, 19 Oktober 2011

jurnal etika profesi akuntansi

1. Pendahuluan

Profesi auditor telah menjadi sorotan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari kasus Enron di Amerika sampai dengan kasus Telkom di Indonesia membuat kredibilitas auditor semakin dipertanyakan. Kasus Telkom tentang tidak diakuinya KAP Eddy Pianto oleh SEC dimana SEC tentu memiliki alasan khusus mengapa mereka tidak mengakui keberadaan KAP Eddy Pianto. Hal tersebut bisa saja terkait dengan kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh auditor masih diragukan oleh SEC, dimana kompetensi dan independensi merupakan dua karakteristik sekaligus yang harus dimiliki oleh auditor. Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (Christiawan, 2002). De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Deis dan Groux (1992) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Sebagian besar studi yang pernah dilakukan dalam rangka mengevaluasi kualitas audit, selalu membuat kesimpulan dari sudut pandang auditor (Widagdo et al., 2002). Hogan (1997) menjelaskan bahwa kantor auditor besar dapat memberikan kualitas audit yang baik dimana dapat mengurangi terjadinya underpricing pada saat perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO). Teoh dan Wong (1993) juga memberikan bukti bahwa ERC (Earnings Response Coefficient) perusahaan yang menjadi klien pada kantor audit besar, secara statistik signifikan lebih besar dibandingkan perusahaan yang menjadi klien pada kantor audit kecil. Kantor auditor yang besar menunjukkan kredibilitas auditor yang semakin baik, yang berarti kualitas audit yang dilakukan semakin baik pula (Hogan, 1997; Teoh dan Wong, 1993). Sutton (1993) telah melakukan penelitian mengenai pengukuran kualitas audit pada tahap proses. Penelitian yang dilakukan oleh Mock dan Samet (1982) mengembangkan daftar faktor-faktor kualitas audit potensial dari literatur yakni screening yang digunakan oleh auditor dan survey auditor untuk mengevaluasi daftar tersebut. Meier dan Fuglister (1992) mengungkapkan bahwa kualitas audit menurut konsep kos kualitas tradisional yang terdiri dari 3 (tiga) kategori aktivitas yang perlu dianalisis. Kategori itu adalah persiapan, penilaian dan aktivitas kegagalan.

Penelitian mengenai independensi telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Pany dan Reckers (1980) yang menemukan bahwa independensi auditor dipengaruhi oleh ukuran klien dan pemberian hadiah. Kemudian Lavin (1976) dalam penelitiannya menjelaskan lebih mendalam konsep independensi dalam hal hubungan antara klien dan auditor melalui pengamatan pihak ketiga. Banyaknya penelitian mengenai independensi menunjukkan bahwa faktor independensi merupakan faktor penting bagi auditor untuk menjalankan profesinya. Kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggungjawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Nugrahaningsih, 2005). Penelitian tentang etika yang telah dilakukan oleh Cushing (1999) menawarkan sebuah kerangka kerja untuk menguji pendekatan standar etika dengan profesi akuntan. Kerangka kerja tersebut berdasarkan pada game theory dengan melalui pembelian opini oleh klien audit. Payamta (2002) menyatakan bahwa berdasarkan “Pedoman Etika” IFAC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah (1) integritas, (2) obyektifitas, (3) independen, (4) kepercayaan, (5) standar-standar teknis, (6) kemampuan profesional, dan (7) perilaku etika. Penelitian ini merupakan penelitian gabungan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Deis dan Giroux (1992), Maryani dan Ludigdo (2001), Widagdo et al. (2002), Wooten (2003) dan Mayangsari (2003). Variabel penelitian ini meliputi kompetensi, independensi, etika auditor dan kualitas audit, yang diadopsi dari penelitian mereka. Penelitian ini mengadopsi kerangka kontijensi untuk mengevaluasi hubungan antara kompetensi, independensi dan kualitas audit. Pendekatan kontinjensi ini dilakukan dengan cara ditetapkannya variabel etika auditor sebagai variabel moderasi yang mungkin akan mempengaruhi secara kuat atau lemah hubungan antara kompetensi, independensi dan kualitas audit. Motivasinya adalah ingin mengetahui pengaruh variabel moderasi (etika auditor) terhadap kompetensi, independensi dan kualitas audit, mengingat beberapa tahun belakangan ini profesi auditor kerap dikaitkan dengan berbagai skandal yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk: 1) menguji pengaruh kompetensi terhadap kualitas audit, 2) menguji pengaruh interaksi antara kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit, 3) menguji pengaruh independensi terhadap kualitas audit, dan 4). Untuk menguji pengaruh interaksi antara independensi dan etika auditor terhadap kualitas audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi dan independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, sedang interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang hasil penelitian ini, maka pada bagian selanjutnya akan diuraikan tentang kajian teoritis dan perumusan hipotesis penelitian, metodologi penelitian, dan hasil penelitian. Selanjutnya, pemahaman secara mendalam tentang hasil analisis empirik akan disarikan dalam kesimpulan penelitian dan kemungkinan penelitian di masa mendatang.

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

1. Kualitas Audit

De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa KAP yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP yang kecil. Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu (1) lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas sudit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga. Penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari (2003) menguji pengaruh independensi dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian ini mendukung hipotesa bahwa spesialisasi auditor berpengaruh positif terhadap integritas laporan keuangan, serta independensi berpengaruh negatif terhadap integritas laporan keuangan. Selain itu, mekanisme corporate governance berpengaruh secara statistis signifikan terhadap integritas laporan keuangan meskipun tidak sesuai dengan tanda yang diajukan dalam hipotesa. Widagdo et al. (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) pengalaman melakukan audit, (2) memahami industri klien, (3) responsif atas kebutuhan klien, (4) taat pada standar umum, (5) independensi, (6) sikap hati-hati, (7) komitmen terhadap kualitas audit, (8) keterlibatan pimpinan KAP, (9) melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, (10) keterlibatan komite audit, (11) standar etika yang tinggi, dan (12) tidak mudah percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 7 atribut kualitas audit yang berpengaruh terhadap kepuasan klien, antara lain pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit dan keterlibatan komite audit. Sedangkan 5 atribut lainnya yaitu independensi, sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien.

2. Etika Auditor

Etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya (Kell et al., 2002). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Maryani dan Ludigdo (2001) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Penelitian yang dilakukan Maryani dan Ludigdo (2001) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan serta faktor yang dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku tidak etis akuntan. Hasil yang diperoleh dari kuesioner tertutup menunjukkan bahwa terdapat sepuluh faktor yang dianggap oleh sebagian besar akuntan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Sepuluh faktor tersebut adalah religiusitas, pendidikan, organisasional, emotional quotient, lingkungan keluarga, pengalaman hidup, imbalan yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan. Sedangkan hasil yang diperoleh dari kuesioner terbuka menunjukkan bahwa terdapat 24 faktor tambahan yang juga dianggap berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etis akuntan dimana faktor religiusitas tetap merupakan faktor yang dominan.

3. Kompetensi

Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998) dalam Lasmahadi (2002) kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Susanto (2000) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi kompetensi dalam bidang auditing pun sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003). Ashton (1991) menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Ashton juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain di selain pengalaman. Pendapat ini didukung oleh Schmidt et al. (1988) yang memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pengalaman bekerja dengan kinerja dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas tugas. Selain itu, penelitian yang dilakukan Bonner (1990) menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat auditor yang baik akan tergantung pada kompetensi dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor (Hogarth, 1991). Hasil penelitian Bonner (1990) menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai spesifik tugas membantu kinerja auditor berpengalaman melalui komponen pemilihan dan pembobotan bukti hanya pada saat penetapan risiko analitis.Ashton (1991) menemukan bukti empiris bahwa perbedaan pengetahuan yang dimiliki auditor pada berbagai tingkat pengalaman, tidak dapat dijelaskan oleh lamanya pengalaman yang dimilikinya. Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum (atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum (typical). Penelitian serupa dilakukan oleh Tubbs (1992), menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak, maka akan menemukan kesalahan yang lebih banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkan auditor yang pengalaman auditnya lebih sedikit. Abdolmohammadi dan Wright (1987) memberikan bukti empiris bahwa dampak pengalaman auditor akan signifikan ketika kompleksitas tugas dipertimbangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:

1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga mengatakan bahwa pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan.

2. Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja sama adalah unsur penting bagi kompetensi audit.

Murtanto dan Gudono (1999) melakukan penelitian untuk mengungkap persepsi tentang karakteristik keahlian auditor dari pespektif manajer partner, senior/supervisor, dan mahasiswa auditing. Penelitian mereka juga mengklasifikasikan karakteristik tersebut ke dalam lima kategori yaitu (1) komponen pengetahuan, (2) ciri-ciri psikologis, (3) strategi penentuan keputusan, (4) kemampuan berpikir dan (5) analisa tugas. Dengan demikian hipotesis penelitian adalah:

H1: Kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit

Selanjutnya, Behn et al. (1997) dalam Widagdo et al. (2002) mengembangkan atribut kualitas audit yang salah satu diantaranya adalah standar etika yang tinggi, sedangkan atribut-atribut lainnya terkait dengan kompetensi auditor. Audit yang berkualitas sangat penting untuk menjamin bahwa profesi akuntan memenuhi tanggung jawabnya kepada investor, masyarakat umum dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang mengandalkan kredibilitas laporan keuangan yang telah diaudit, dengan menegakkan etika yang tinggi (Widagdo et al., 2002).

H2: Interaksi kompetensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit

4. Independensi

Definisi independensi dalam The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox adalah merupakan suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993:246). Kode Etik Akuntan tahun 1994 menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Penelitian yang dilakukan oleh Lavin (1976) menunjukkan bahwa pembuatan pembukuan perusahaan atau pelaksanaan fungsi pengolahan data oleh auditor tidak akan berpengaruh terhadap teknik-teknik yang digunakan auditor untuk mengaudit. Selain itu penggunaan komputer klien untuk hubungan bisnis dianggap juga tidak merusak independensi auditor. Shockley (1981) melakukan penelitian tentang empat faktor yang berpengaruh terhadap independensi akuntan publik dimana responden penelitiannya adalah kantor akuntan publik, bank dan analis keuangan. Faktor yang diteliti adalah pemberian jasa konsultasi kepada klien, persaingan antar KAP, ukuran KAP dan lama hubungan audit dengan klien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antar KAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan faktor lama ikatan hubungan dengan klien tertentu tidak mempengaruhi secara sifnifikan terhadap independensi akuntan publik.

Supriyono (1988) dalam Wati dan Subroto (2003) telah melakukan penelitian mengenai independensi auditor di Indonesia. Penelitian ini mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor yaitu (1) ikatan keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien; (2) persaingan antar KAP; (3) pemberian jasa lain selain jasa audit; (4) lama penugasan audit; (5) besar kantor akuntan; dan (6) besarnya audit fee. Responden yang dipilih meliputi direktur keuangan perusahaan yang telah go public, partner KAP, pejabat kredit bank dan lembaga keuangan non bank, dan Bapepam. Hasil penelitian Pany dan Reckers (1980) ini menunjukkan bahwa hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan ukuran klien tidak berpengaruh secara signifikan. Penelitian oleh Knapp (1985) menunjukkan bahwa subyektivitas terbesar dalam teknik standar mengurangi kemampuan auditor untuk bertahan dalam tekanan klien dan posisi keuangan yang sehat mempunyai kemampuan untuk menghasilkan konflik audit. Mayangsari (2003) menemukan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama dengan menggunakan alat analisis ANOVA diperoleh hasil bahwa auditor yang memiliki keahlian dan independen memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan yang cenderung benar dibandingkan auditor yang hanya memiliki salah satukarakteristik atau sama sekali tidak memiliki keduanya. Hasil pengujian hipotesis kedua dengan menggunakan uji Simple Factorial Analysis of Variance diperoleh hasil bahwa auditor yang ahli lebih banyak mengingat informasi yang atypical sedangkan auditor yang tidak ahli lebih banyak mengingat informasi yang typical. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini:

H3: Independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit

Selanjutnya, Nichols dan Price (1976) menemukan bahwa ketika auditor dan manajemen tidak mencapai kata sepakat dalam aspek kinerja, maka kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk memaksa auditor melakukan tindakan yang melawan standar, termasuk dalam pemberian opini. Kondisi ini akan sangat menyudutkan auditor sehingga ada kemungkinan bahwa auditor akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak manajemen. Deis dan Giroux (1992) mengatakan bahwa pada konflik kekuatan, klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor. Hal ini dapat membuat auditor tidak akan dapat bertahan dengan tekanan klien tersebut sehingga menyebabkan independensi mereka melemah. Posisi auditor juga sangat dilematis dimana mereka dituntut untuk memenuhi keinginan klien namun di satu sisi tindakan auditor dapat melanggar standar profesi sebagai acuan kerja mereka. Hipotesis dalam penelitian mereka terdapat argumen bahwa kemampuan auditor untuk dapat bertahan di bawah tekanan klien mereka tergantung dari kesepakatan ekonomi, lingkungan tertentu, dan perilaku termasuk di dalamnya mencakup etika profesional.

H4: Interaksi independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.

3. METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan explanatory research yaitu memberikan penjelasan pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit dengan etika auditor sebagai variabel moderasi.

Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor yang ada di wilayah Jawa Timur. Sesuai dengan daftar dalam Directory Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik 2006, KAP yang ada di Jawa Timur berjumlah 53 dimana dalam penelitian ini diasumsikan bahwa tiap-tiap KAP memiliki 5 auditor. Responden dalam penelitian ini adalah para akuntan publik yang terdapat dalam Kantor Akuntan Publik dimana ia menjalankan proses audit, yaitu yang melakukan pengujian terhadap laporan keuangan. Alasan pemilihan tersebut adalah akuntan publik melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan dan memberikan pendapat atas dasar hasil pemeriksaan tersebut, sehingga mereka terlibat dalam penentuan kualitas audit. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara simple random sampling dimana dilakukan dengan mengambil secara langsung dari populasinya secara random. Penentuan sampel sebanyak 5 orang untuk tiap-tiap KAP berdasarkan hasil pengamatan jumlah rata-rata auditor yang dimiliki KAP di Kota Malang, sehingga pada penelitian ini diasumsikan bahwa tiap-tiap KAP di Jawa Timur memiliki 5 auditor.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dikirim melalui surat (mail survey) yang disebut dengan data primer. Auditor yang menjadi sampel, akan dikirimi kuesioner yang berisi kumpulan pertanyaan tentang kompetensi, independensi, etika auditor dan kualitas audit. Peneliti akan menggunakan sistem bebas perangko balasan agar respon rate yang diinginkan tercapai. Apabila diperlukan, peneliti juga akan melakukan konfirmasi melalui kontak telepon pada KAP untuk mengingatkan dan percepatan pengembalian kuesioner.

Operasionalisasi Variabel dan Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan satu variabel terikat (dependen) yaitu kualitas audit, dua variabel bebas (independen) yaitu independensi dan kompetensi, dan satu variabel moderasi yaitu etika auditor. Secara operasional variabel-variabel dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kompetensi (X1)

Peneliti menggunakan dua dimensi kompetensi dari Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) yaitu pengalaman dan pengetahuan. Peneliti menggunakan pertanyaan sebagai indikator sebagai berikut : (1) jumlah klien yang diaudit, (2) komunikasi dengan klien, (3) ketepatan waktu penyelesaian audit, (4) kecakapan asisten, (5) litigasi perusahaan, (6) pengetahuan dari pendidikan strata, dan (7) pengetahuan dari pelatihan dan kursus. Semua item pertanyaan diukur pada skala Likert 1 sampai 5.

2. Independensi (X2)

Ada dua dimensi yang digunakan dalam variabel ini yaitu dimensi tekanan klien dan lama kerjasama dengan klien. Terdapat 5 pertanyaan sebagai indikator yaitu (1) pengungkapan kecurangan klien, (2) besarnya fee audit, (3) pemberian fasilitas dari klien, (4) penggantian auditor, dan (5) penggunaan jasa non audit. Semua item pertanyaan diukur pada skala Likert 1 sampai 5.

3. Etika Auditor (X3)

Maryani dan Ludigdo (2001) mengembangkan beberapa faktor dari penelitian sebelumnya yang memungkinkan berpengaruh terhadap perilaku etis akuntan. Faktor-faktor tersebut dalam penelitian ini digunakan sebagai indikator dalam pertanyaan, yaitu (1) imbalan yang diterima, (2) organisasional, (3) lingkungan keluarga, dan (4) emotional quotient (EQ). Semua item pertanyaan diukur pada skala Likert 1 sampai 5.

4. Kualitas Audit (Y)

Wooten (2003) telah mengembangkan model kualitas audit dari membangun teori dan penelitian empiris yang ada. Model yang disajikan oleh Wooten dalam penelitian ini dijadikan sebagai indikator untuk kualitas audit, yaitu (1) deteksi salah saji, (2) kesesuaian dengan SPAP, (3) kepatuhan terhadap SOP, (4) risiko audit, (5) prinsip kehati-hatian, (6) proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor, dan (7) perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner. Semua item pertanyaan diukur pada skala Likert 1 sampai 5.

Pengukuran Variabel

Untuk mengukur variabel diatas, metode analisis yang digunakan adalah Analisis Regresi Moderate Two Way Interactions. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut:

Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X1 X3 + b5 X2 X3 + e

Dimana:

Y = kualitas audit

a = konstanta

b = koefisien regresi

X1 = variabel kompetensi

X2 = variabel independensi

X3 = variabel etika auditor

Pengujian validitas dilakukan untuk menguji apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner telah sesuai mengukur konsep yang dimaksud dengan uji korelasi Pearson. Pengujian reliabilitas dilakukan untuk menguji kestabilan dan konsistensi instrumen dalam mengukur konsep dengan teknik Cronbach Alpha. Untuk dapat melakukan Analisis Regresi Moderasi perlu pengujian asumsi persyaratan analisis agar data bermakna dan bermanfaat (Ghozali, 2005:57-81) dengan uji asumsi klasik yaitu Uji Normalitas, autokorelasi, dan uji heterokedastisitas

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Obyek Penelitian dan Deskripsi Responden

Berdasarkan Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik Directory 2006, KAP yang ada di wilayah Jawa Timur meliputi Surabaya sejumlah 47 KAP dan Malang sejumlah 6 KAP. Sampel penelitian adalah seluruh auditor KAP yang ada di wilayah Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan 220 kuesioner kepada seluruh auditor yang ada di KAP wilayah Jawa Timur dengan asumsi setiap KAP memiliki kurang lebih 5 orang auditor. Namun tidak semua KAP menerima kuesioner karena terdapat 3 KAP yang tidak bersedia menerima kuesioner dan 7 KAP telah berpindah alamat. Kuesioner yang kembali adalah sebanyak 75 responden dan semua dapat dianalisa. Secara umum dalam penelitian ini dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:

usia responden antara 21- 25 tahun 29 orang (38.67%), 26 – 30 tahun 22 orang (29,33%), 31 – 35 tahun 14 orang dan lebih dari 35 tahun 10 orang (13,33%),
Responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 43 orang (57,33%) dan responden laki – laki 32 orang (42,67%),
Latar belakang pendidikan responden untuk Ahli Madya sebanyak 6 orang (8%), Sarjana Akuntasi 60 orang (80%), Sarjana Ekonomi Lainnya 3 orang (4%) dan Pasca Sarjana 6 orang (8%), dan
Masa kerja responden adalah untuk masa kerja kurang dari 1 tahun sebanyak 3 orang (4%), lebih dari 1 tahun sampai kurang dari 2 tahun 22 0rang (29%), lebih dari 2 tahun sampai kurang dari 3 tahun 18 orang (24%), lebih dari 3 tahun sampai kurang dari 4 tahun 10 orang (13%), lebih dari 4 tahun sampai kurang dari 5 tahun 6 orang (8%) dan lebih dari 5 tahun 16 orang (16%).
Uji Validitas, Reliabilitas dan Uji asumsi Klasik

Pengujian instrumen penelitian baik dari segi validitasnya maupun reliabilitasnya terhadap 75 responden diperoleh bahwa hasil instrumen penelitian yang dipergunakan adalah valid yang nilai korelasinya lebih besar dari 0,3 (Masrun dalam Sugiyono, 2002:106) dan koefisien keandalannya (Cronbach Alpha) lebih besar dari 0,6 (Sekaran, 2003:311). Dimana, untuk variabel kompetensi mempunyai nilai korelasi yang lebih besar dari 0,3 kecuali pertanyaan X16, sehingga tanpa mengikutsertakan X16 diperoleh koefisien alphanya sebesar 0,6629 dan semua item pertanyaan kuesioner untuk variable independensi, etika dan kualitas audit adalah valid dan reliable. Hasil pengujian dan item-item pertanyaan disajikan pada lampiran. Dalam penelitian ini uji asumsi klasik dilakukan dengan melihat grafik dan nilai durbin watson. Uji grafik menunjukkan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas dan tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi. Uji autokorelasi menggunakan Durbin Watson Test dimana menurut Santoso (2000:219), angka D-W di antara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi. Data menunjukkan Durbin Watson senilai 1.695, sehingga variabel tersebut independen (tidak ada autokorelasi). Grafik dan nilai Durbin Watson disajikan dalam lampiran.

Pengujian Hipotesis

Seperti dijelaskan pada metode penelitian, peneliti menggunakan variabel moderasi etika auditor sebagai variabel kontijensi. Oleh karena itu peneliti akan menentukan pengaruh variabel kompetensi (X1), independensi (X2), dan variabel etika auditor (X3) terhadap kualitas audit untuk mengetahui diterima atau tidaknya hipotesis penelitian yang pertama, kedua dan ketiga. Selanjutnya untuk menguji hipotesis keempat memasukkan variabel moderasian etika auditor. Nilai-nilai hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa kompetensi, independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit karena tingkat signifikansi t lebih kecil dari α = 0,10 yakni t (X1) = 0,012; t (X2) = 0,033 ; t (X3) = 0,000. Hasil pengujian ini mendukung hipotesis 1, dimana kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini dibuktikan dengan signifikansi t lebih besar dari α yang ditetapkan (α = 0,10), yaitu 0,009. Hasil pengujian ini juga mendukung hipotesis 3 dimana independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi t lebih kecil dari α = 0,10 yakni 0,080. Selain itu, dari analisis diperoleh nilai R2 = 0,777. Angka ini menunjukkan bahwa variasi nilai kualitas audit (Y) yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresi sebesar 77,7% atau dengan kata lain pengaruh variabel kompetensi (X1) dan independensi (X2) terhadap kualitas audit (Y) adalah kuat. Sementara itu hipotesis kedua dan hipotesis keempat diuji dengan analisis regresi moderasi (two way interactions). Data hasil analisis regresi moderasian menunjukkan bahwa tidak adanya variabel moderasi X1.X3, karena dari hasil oleh data variabel tersebut keluar dari model (lihat lampiran). Berdasarkan hasil analisis regresi dihasilkan model regresi sebagai berikut:

Y = 0,776 + 0,241X1 – 0,258 X2 + 0,451X2.X3 + e

Hasil pengujian ini tidak berhasil mendukung hipotesis 2 bahwa interaksi kompetensi dan etika auditor berpengaruh terhadap kualitas audit, karena kedua variabel tersebut dikeluarkan dari model menurut hasil olah data SPSS. Namun pengujian ini mendukung hipotesis 4 bahwa interaksi independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi t dari masing-masing variabel lebih kecil dari α yang ditetapkan (α = 0,10) yaitu untuk X1 = 0,009, X2 = 0,080 dan interaksi X2 dan X3 = 0,000.

Pembahasan

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis pertama bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit. Hal ini berarti bahwa kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit memang harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya. Penerapan pengetahuan yang maksimal tentunya akan sejalan dengan semakin bertambahnya pengalaman yang dimiliki. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Libby (1989), Ashton (1991), Choo dan Trootman (1991), dalam Mayangsari (2003) bahwa pengalaman dan pengetahuan merupakan faktor penting yang berkaitan dengan pemberian opini audit, dimana dalam penelitian ini hal tersebut termasuk dalam risiko audit sebagai indikator pada kualitas audit. Sesuai dengan standar umum bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya (Arens dan Loebbecke, 1997). Pengalaman juga akan memberikan dampak pada setiap keputusan yang diambil dalam pelaksanaan audit sehingga diharapkan setiap keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan yang tepat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin lama masa kerja yang dimiliki auditor maka auditor akan semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan. Pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit dalam penelitian ini tidak dapat diketahui karena dari hasil olah data menurut SPSS, kedua variabel tersebut dikeluarkan dari model (Excluded Variables). Akibat dikeluarkan kedua variabel dari model, maka pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit tidak dapat dianalisa. Hasil ini tidak berhasil mendukung penelitian yang dilakukan oleh Behn et al. (1997) dalam Widagdo et al. (2002) yang mengembangkan atribut kualitas audit dimana salah satunya adalah standar etika yang tinggi, sedangkan atribut lainnya terkait dengan kompetensi. Hasil pengujian dengan regresi berganda menunjukkan bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit dimana hal ini telah sesuai dengan hipotesis ketiga bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasil ini sesuai dengan penelitian Deis dan Giroux (1992) bahwa lama waktu auditor melakukan kerjasama dengan klien (tenure) berpengaruh terhadap kualitas audit, dimana tenure merupakan hal yang terkait dengan independensi. Pendapat De Angelo (1981) yang menyatakan bahwa independensi merupakan hal yang penting selain kemampuan teknik auditor juga sesuai dengan hasil penelitian ini.

Auditor harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan setiap informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut harus didukung dengan sikap independen. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap independen merupakan hal yang melekat pada diri auditor, sehingga independen seperti telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Tidak mudah menjaga tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki auditor. Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk auditor. Bukan tidak mungkin auditor menjadi ”mudah dikendalikan” klien karena auditor berada dalam posisi yang dilematis. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis keempat bahwa interaksi independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Deis dan Giroux (1992) bahwa kemampuan auditor untuk bertahan di bawah tekanan klien, dalam hal ini independensi, tergantung pula oleh etika profesional. Kredibilitas auditor tentu sangat tergantung dari kepercayaan masyarakat yang menggunakan jasa mereka. Auditor yang dianggap telah melakukan kesalahan maka akan mengakibatkan mereduksinya kepercayaan klien. Namun meskipun demikian klien tetap merupakan pihak yang mempunyai pengaruh besar terhadap auditor. Hal tersebut bisa dilihat dari kondisi saat ini dimana telah terdapat berbagai regulasi yang mengatur mengenai kerjasama klien dengan auditor. Kualitas audit yang dipengaruhi oleh independensi dan etika dalam melaksanakan tugas audit masih terkait dengan perilaku klien kepada auditor. Klien yang menginginkan hasil audit sesuai dengan kebutuhannya tentu akan memperlakukan auditor dengan lebih baik dimana auditor harus bersikap tegas jika dihadapkan pada situasi yang demikian.

5. Kesimpulan dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini berarti bahwa kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik dimana kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Libby (1989), Ashton (1991), Choo dan Trootman (1991), dalam Mayangsari (2003). Sementara itu, interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Pengaruh interaksi kompetensi dan etika auditor terhadap kualitas audit dalam penelitian ini tidak dapat diketahui karena dari hasil pengujian ternyata kedua variabel tersebut keluar dari model (Excluded Variables). Hasil ini tidak berhasil mendukung penelitian yang dilakukan oleh Behn et al. (1997) dalam Widagdo et al. (2002). Penelitian ini juga menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasil ini konsisten dengan penelitian Shockley (1981), De Angelo (1981), Knapp (1985), Deis dan Giroux (1992), Mayangsari (2003). Selanjutnya interaksi independensi dan etika auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini berarti kualitas audit didukung oleh sampai sejauh mana auditor mampu bertahan dari tekanan klien disertai dengan perilaku etis yang dimiliki. Penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Nichols dan Price (1976), Deis dan Giroux (1992). Pada sisi lain, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, penelitian hanya dilakukan pada KAP yang ada di Jawa Timur sehingga hasil penelitian hanya mencerminkan mengenai kondisi auditor di Jawa Timur. Kedua, peneliti tidak membedakan auditor sebagai responden berdasarkan posisi mereka di KAP (yunior, senior dan supervisor) sehingga tidak diketahui secara pasti tingkat kompetensi, independensi dan etika yang dimiliki. Ketiga, variable moderasi yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah etika auditor, padahal masih banyak variabel perilaku lain maupun faktor kondisional yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Penelitian di masa mendatang hendaknya meneliti hal-hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdolmohammadi, M. dan A. Wright. 1987. An Examination of The Effects of Experience and Task Complexity on Audit Judgments. The Accounting Review. Januari. p. 1-13.

Antle, R. 1984. Auditor Independence. Journal of Accounting Research. Spring. p. 1-20.

Ashton, A.H. 1991. Experience and Error Frequency Knowledge as Potential Determinants of Audit Expertise. The Accounting Review. April. p. 218-239.

Bonner, S.E. 1990. Experience Effect in Auditing: The Role of Task Spesific Knowledge. The Accounting Review. Januari. p. 72-92.

Bonner, S.E. dan B.L. Lewis. 1990. Determinants of Auditor Expertise. Journal Accounting Research (Supplement). p 1-28.

Choo, F. dan K.T. Trotman. 1991. The Relationship Between Knowledge Structure and Judgments for Experienced and Inexperienced Auditors. The Accounting Review. Juli. p. 464-485.

Chow, C.W. dan S.J. Rice. 1982. Qualified Audit Opinions and Auditor Switching. The Accounting Review. April. p. 326-335.

Christiawan, Y.J. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Journal Directory : Kumpulan Jurnal Akuntansi dan Keuangan Unika Petra. Vol. 4 / No. 2.

Cushing, B.E. 1999. Economic Analysis of Accountants’ Ethical Standards: The Case of Audit Opinion Shopping. Journal of Accounting and Public Policy. p. 339-363.

Dajan, Anto. 1986. Pengantar Metode Statistik. Jakarta: LP3ES.

De Angelo, L.E. 1981. Auditor Independence, “Low Balling”, and Disclosure Regulation. Journal of Accounting and Economics 3. Agustus. p. 113-127.

Deis, D.R. dan G.A. Groux. 1992. Determinants of Audit Quality in The Public Sector. The Accounting Review. Juli. p. 462-479.

Ghozalie, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Undip.

Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hogan, C.E. 1997. Cost and Benefits of Audit Quality in The IPO Market: A Self Selection Analysis. The Accounting Review. Januari. p. 67-86.

Hogart, R.M. 1991. A Perspective on Cognitive Research in Accounting. The Accounting Review. Januari. p. 67-86.

Kell, W.G., R.N. Johnson dan W.C. Boynton. 2002. Modern Auditing. Edisi Ketujuh. Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lasmahadi, A. 2000. Sistem Manajemen SDM Berbasis Kompetensi. www.e-psikologi.com

Lavin, D. 1976. Perception of The Independence of The Auditor. The Accounting Review. Januari. p. 41-50.

Maryani, T. dan U. Ludigdo. 2001. Survei Atas Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Perilaku Etis Akuntan. TEMA. Volume II Nomor 1. Maret. p. 49-62.

Mautz, R.K dan H.A. Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing. Sarasota: American Accounting Association.

Mayangsari, S. 2003. Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi terhadap Pendapat Audit: Sebuah Kuasieksperiman. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 6. No. 1. Januari. p. 1-22.

____________. 2003. Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta Mekanisme Corporate Governance terhadap Integritas Laporan Keuangan. SNA VI Surabaya. p. 1255-1269.

Meier, H.H dan J. Fuglister. 1992. How to Improve Audit Quality: Perceptions of Auditors and Clients. The Ohio CPA Journal. Juni. p. 21-24.

Mock, T.J. dan M. Samet. 1982. A Multi Atribute Model for Audit Evaluation. Journal of Accounting Research (Supplement 1982). p. 99-112.

Murtanto dan Gudono. (1999). Identifikasi Karakteristik-karakteristik Keahlian Audit: Profesi Akuntan Publik di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.2. No. 1. Januari. p. 37-52.

Nugrahaningsih, P. 2005. Analisis Perbedaan Perilaku Etis Auditor di KAP dalam Etika Profesi (Studi Terhadap Peran Faktor-faktor Individual: Locus of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender dan Equity Sensitivity). SNA VIII Solo. p. 617-630

Pany, K dan M.J. Reckers. 1980. The Effect of Gifts, Discounts, and Client Size on Perceived Auditor Independence. The Accounting Review. Januari. p. 50-61.

Payamta. 2002. Sikap Akuntan dan Pengguna Jasa Akuntan Publik Terhadap Advertensi Jasa Akuntan Publik. SNA 5 Semarang. p. 544-559.

Santoso, S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Schmidt, F.L, M.A. Mc. Daniel dan J.E. Hunter. 1988. Job Experience Correlates of Job Performance. Journal of Applied Psycology. p. 327-330.

Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business. Fourth Edition. New York: John Milley and Sons, Inc.

Shockley, R. 1981. Perceptions of Auditors Independen: An Empirical Analysis. The Accounting Review. Oktober. p. 785-800.

Subroto, B. 2002. Undang-undang Akuntan Publik dan Peningkatan Profesionalisme Akuntan. TEMA. Volume III Nomor 2. September. p. 109-117.

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.

Susanto, A.B. 2000. Competency-Based HRM. www.jakartaconsultinggroup.com.

Sutton, S.G. 1993. Toward An Understanding of The Factors Affecting The Quality of The Audit Process. Decision Sciences. Vol. 24. p. 88-105.

Teoh, S.H dan T.J.Wong. 1993. Perceived Audit Quality and The Earnings Response Coefficient. The Accounting Review. April. p. 346-366.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka.

Tubbs, R.M. 1992. The Effect of Experience on The Auditor’s Organization and Amount of Knowledge. The Accounting Review. Oktober. p. 783-801.

Wati, C dan B. Subroto. (2003). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Penampilan Akuntan Publik (Survei pada Kantor Akuntan Publik dan Pemakai Laporan Keuangan di Surabaya). Tema. Volume IV. Nomor 2. p. 85-101.

Widagdo, R, S. Lesmana, dan S.A. Irwandi. 2002. Analisis Pengaruh Atribut-atribut Kualitas Audit Terhadap Kepuasan Klien (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). SNA 5 Semarang. p. 560-574.

Wooten, T.G. 2003. It is Impossible to Know The Number of Poor-Quality Audits that simply go undetected and unpublicized. The CPA Journal. Januari. p. 48-51.





Sumber : http://smartaccounting.files.wordpress.com/2011/03/auep08.pdf

etika profesi akuntansi

Pengertian dan Definisi Etika

Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma agama, norma moral dan norma sopan santun.

Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan
Norma agama berasal dari agama
Norma moral berasal dari suara batin.
Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika
Etika juga merupakan tindakan dari seseorang dalam melakukan suatu hal baik yang baik maupun buruk namun masih sesuai dengan norma-norma yang berlaku .

Etika sanagt penting dalam melakukan suatu pekerjaan karena dari etika yang timbul dapat mencerminkan suatu pandangan orang lain kepada diri kita.

Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.

Etika adalah kepercayaan tentang apa yang benar dan salah atau baik dan buruk dalam tindakan yang mempengaruhi yang lain.

Perilaku etis adalah tingkah laku yang disesuaikan terhadap norma sosial yang diterima secara umum berkenaan dengan tindakan yang berguna dan berbahaya.

Beberapa Pengertian Etika Dari Berbagai Tokoh :

Dala perspektif teologis (disebut juga etika teologis), pemikiran etika antara lain berkembang dengan penekanan pada kerangka dialektis dan metodologis untuk menentukan status logis dari proporsi etis daripada membangun teori moralitas yang substansif (Fakhry, dalam Ludigdo, 2007).

Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan. Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak. Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen sebagaimana dipahami dalam hedonisme.

Pemikiran besar tentang etika dari era Yunani juga lahir dari Plato (427-348 SM), di mana yang sangat fenomenal darinya adalah ajarannya tentang idea. Mendasarkan pada perumpamaan sebuah setting cerita dalam gua. Plato memperlihatkan bahwa apa yang pada umumnya dianggap kebenaran masih jauh sekali dari realitas sebenarnya. Bahwa hanya kalau manusia berani keluar dari gua, ia dapat sampai pada realitas yang sesungguhnya. Gua dalam hal ini adalah penggambaran dari kegelapan dan kesempitan cara pikir manusia yang hanya terbatas pada suatu kerangka yang dapat dijangkau dengan media materi, dan itulah realitas inderawi. Menurut Plato, realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah sang baik itu sendiri, dan sang baik ini adalah tujuan dari segala yang ada. Sang baik itu menurut Plato adalah Ilahi.

Dari pernyataan yang di atas, dapat disimpulkan bahwa etika profesi akuntansi sangatlah perlu dalam melakukan proses akuntansi karena apapun profesi yang dilakukan oleh setiap orang pasti diperlukanlah etika dalam pengerjaannya agar dapat terlihat hasil yang diinginkan dari suatu perusahaan.
Pengertian dan Definisi Profesi
1.Pendekatan berdasarkan definisi
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan ara yang benar. Ketrampilan dan keahlian yang tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia.
2.Pendekatan berdasarkan ciri
Definisi di atas secara tersirat masyarakat pengetahuan formal menunjukkan adanya hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan lembaga yang mengambangkan dan meneruskan pengetahuan profesional.
Pengertian dan Definisi Etika Profesi Akuntansi
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi :
1. Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2. Profesionalisme. Diperluikan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
3. Kualitas jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tinggi.
4. Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesioanal yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.

Minggu, 29 Mei 2011

puisi cinta

katakan padaku…
Mengapa terasa berat langkahku meninggalkanmu…
Derai tawa dan senyum itukah penyebabnya?
Dirimu pesona kuat bagi jiwaku yang letih
Mengundang aroma kehangatan tersendiri
Yang sukar kukatakan dengan tulisan
Sebab tak ada kalimat yang dapat mewakilinya

rambutmu yang engkau biarkan tergerai indah
suaramu yang melenakan ragawi
matamu seperti pantun dari negeri melayu
seolah berbicara dari tiap kedipnya
membuat sebuah melodrama syahdu
mengantarkan diri menjadi lena dalam sekejap
sebab kelembutan dan kesyahduanmu
mengalahkan alam dan seisinya

dari kejauhan kusapa engkau
dalam kuyup rindu tak putus
bentangan janji merangkai hari
mengalun merdu membahana dalam jiwa
bilakah sebait syair engkau peruntukan buatku?
Sebagai tanda rasaku menyatu dengan rasamu
Walau hanya bias yang tak nyata….

Biarkanlah aku terus bermimpi
Jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini
Airmataku akan mengalir karena kehilanganmu
Aku bermohon padamu
Temani aku walau hanya dalam mimpi
Hanya dengan mimpilah aku dapat menyentuhmu
Jadi izinkanlah…

Minggu, 20 Maret 2011

History Of TOEFL

TOEFL stands for Test Of Home as a Foreign Language. Toefl is a test used to determine a person's ability in speaking English. Toefl test started with a project that digunakana Ferguson to measure the language ability of government employees and students, and since the 1960's, the TOEFL test has been administered by the Educational Testing Service (ETS), an organization of international testing standards.

Toefl test was originally developed at the Center for Applied Linguistics led by linguists, Dr. Charles A. Ferguson.
TOEFL Committee of Examiners consists of 12 specialists in linguistics, language testing, teaching or research. Its main responsibility is to advise on the contents of the TOEFL test. This committee helps ensure the test is a valid measure of English language proficiency.

Almost all schools, universities and institutions in more than 130 countries rely on TOEFL test scores to help prove that. You have the English skills you will actually be used in an academic classroom. In this test, you can read sections of textbooks and listen to lectures and then speak or write in response, just like you would in a classroom. Because this test consists of 100% of academic questions and tasks, many universities consider this the most appropriate test to use when making admissions decisions.


Komentar saya: Dalam melaksanakan tes toefl sebaiknya kita harus mempersiapkan diri agar hasil dari tes tersebut mendapatkan nilai yang maksimal..